Avanti: Satu dari Dua Puluh Delapan Ribu

Namanya Avanti Indreswari Widaningrum, seorang wanita asal Indonesia yang berusia 48 tahun. Avanti, begitu ia biasa dipanggil, merupakan satu dari dua puluh delapan ribu orang asing yang menikah dengan pria dengan kewarganegaraan Jepang pada tahun 2000. Bersama sang suami, Iwasaki Yukio, Avanti mendapatan kesempatan untuk mengalami hal-hal yang mungkin tidak didapatkan oleh wanita Indonesia pada umumnya, yang kemudian akan dituang satu persatu dalam cerita berikut ini.

Avanti & Yukio saat liburan bersama di Kota Kanazawa, Jepang. Dokumen milik Avanti.

Awal Pertemuan

Tidak ada yang tidak penasaran dengan bagaimana kisah keduanya bermula. Apakah akan serupa dengan film atau drama Negeri Sakura yang sering diputar di layar kaca Indonesia pada era 2000-an? Avanti kemudian dengan lugas dan jelas menceritakan bagaimana ia dan sang suami, Yukio, bertemu. Sekitar duapuluh tahun yang lalu, Avanti bekerja di salah satu perusahaan Jepang yang bergerak di bidang otomotif, sementara Yukio bekerja di kantor pusatnya, di Jepang, sebagai seorang product planner. Saat itu, ia sedang melakukan riset pasar ke wilayah-wilayah yang termasuk dalam negara ASEAN, salah satunya Indonesia. Dari sanalah semuanya bermula.

Ilustrasi pekerja pria dan wanita. Sumber: freepik.com

Kunjungan Yukio dan tim risetnya disambut oleh perusahaan cabang Indonesia, yang saat itu ditangani oleh Avanti. Sebagai seorang liaison officer dan pemimpin dari tim tersebut, tentu, intensitas interaksi antara Avanti dengan Yukio cukup banyak—mengingat proyek yang mereka jalani berlangsung selama dua bulan lamanya. Berangkat itu semua, Avanti lalu merasakan adanya perbedaan yang membuatnya melihat bahwa Yukio lebih menonjol dari rekan tim yang lain. Hal itu diungkapkannya setelah mereka mengenal dan bersama cukup lama.

“Saya tertarik dengannya (Yukio) karena sifatnya yang serius, kalem, pendiam (agak terlalu diam, bahkan terkesan dingin) dan selalu berbicara ‘to the point‘ alias tanpa basa basi,” tutur wanita yang memiliki rambut dengan potongan pendek itu.

Avanti mengaku bahwa diantara ia dan Yukio tidak ada kendala dalam masalah bahasa saat itu. Mereka lancar berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris, ditambah dengan bantuan kamus atau bahasa isyarat kalau-kalau ada bahasa masing-masing yang tidak dimengerti satu sama lain. Perbedaan yang dimiliki keduanya tidaklah menjadi halangan mereka untuk terus mengembangkan hubungan tersebut lebih jauh.

Pertemuan tersebut kemudian berbuah manis di tahun berikutnya. Hubungan yang diawali dengan profesionalitas itu kini bergeser ke ranah paling personal—yaitu pernikahan. Yukio dan Avanti resmi menjadi sepasang suami istri pada bulan Desember tahun 2000. Pernikahan tersebut dilaksanakan di Bandung, tempat di mana Avanti tinggal bersama keluarganya.

Pindah ke Jepang

Saat periode awal pernikahan berlangsung, Avanti menyebutkan bahwa ia dan sang suami sempat tinggal terpisah selama satu hingga dua tahun karena masalah pekerjaaan yang berada di dua tempat yang berbeda, yaitu Jepang dan Indonesia. Mereka sangat sibuk dan hanya bisa bertemu satu kali dalam sebulan—itu juga kalau mendapatkan jatah libur. Hal tersebut kemudian membuat Avanti berpikir untuk tinggal bersama suaminya. Di manapun tidak masalah, asal mereka tidak lagi terpisah seperti sebelumnya.

“Ini sangat menyiksa bagi kami berdua,” aku Avanti kemudian saat ditanya mengapa ia berpikir seperti itu.

Avanti, di salah satu persimpangan jalan di Musashino, Tokyo. Dokumen milik Avanti.

Akhirnya, pada tahun 2008, Avanti pun bertolak dari Indonesia dan menginjakkan kakinya di Jepang untuk pertama kali. Ia kemudian bermukim di Musashino-shi, sebuah daerah yang cukup populer di kalangan orang-orang muda di Tokyo bagian Barat. Musashino adalah daerah yang cukup jauh dari pusat kota. Walau demikian, menurut Avanti, daerah tempat ia tinggal sangat mudah diakses dengan kereta api jalur utama (Chuo Line) dan merupakan daerah perumahan yang asri, tenang dan nyaman untuk dihuni. Di sana terdapat banyak sekali fasilitas umum yang menunjang segala kebutuhan warganya, mulai dari kebutuhan ekonomi, kesehatan, sosial, pendidikan, hingga hiburan.

Rumah yang tinggali oleh Avanti dan suaminya adalah rumah yang dirancang dan dibangun sendiri oleh Yukio. Dalam pandangan Avanti, rumah yang kini ia huni adalah bangunan yang unik dan alami. Hampir semua bagian dari rumah tersebut, baik dinding, lantai maupun atapnya, terbuat dari kayu yang kemudian dapat digolongkan sebagai log-house atau rumah kayu. Rumah semacam ini banyak diasumsikan dapat bertahan dalam situasi rawan bencana seperti gempa bumi, sebab ia memiliki resistensi yang lebih tinggi dibandingkan dinding biasa. Bahkan saat badai topan melanda Jepang pada bulan Oktober lalu, rumahnya tetap berdiri kokoh dan tidak mengalami kerusakan yang berarti.

Rumah Avanti & Yukio di Musashino, Tokyo, Jepang. Dokumen milik Avanti.

“Setiap kali menginjakkan kaki di rumah, semua perasaan kesal, lelah, stres dan pikiran buruk yang dibawa dari luar hilang dalam sekejap,” ujarnya lagi.

Bagi Avanti, rumah tersebut memiliki mana yang sangat dalam. Rumah adalah tempat yang aman dan nyaman untuk menghabiskan waktu luang dan beristirahat. Ia akan melakukan hal-hal yang menyenangkan seperti membaca, menonton, membersihkan atau membereskan rumah, atau hanya berdiam diri.

Soal Rumah Tangga dan Tetangga

Memutuskan untuk tinggal bersama sang suami merupakan salah satu pilihan terbesar yang Avanti ambil dalam hidupnya. Selain karena tidak ingin tinggal sendiri-sendiri, Avanti juga ingin mencoba kehidupan baru di negeri orang. Wanita itu mengambil peluang untuk merasakan pengalaman hidup yang mungkin tidak bisa dimiliki banyak warga Indonesia yang lain.

Avanti saat menonton pertandingan rugby bersama Yukio. Dokumen milik Avanti.

Nyaris dua puluh tahun, masa-masa muda dari pernikahan mereka pun tampaknya tidak usang dimakan waktu. Menurut Avanti, ada beberapa kebiasaan yang teratur ia lakukan bersama sang suami, yaitu makan malam di restoran favorit, berjalan kaki di sekitar rumah, melakukan perjalanan liburan baik ke dalam atau luar negeri, dan menonton pertandingan rugby di stadion. Olahraga rugby belum menjadi olahraga yang populer di Indonesia bahkan hingga saat ini. Tapi, Avanti tetap gemar menonton sebab di luar dugaan, Yukio merupakan pemain rugby saat kuliah.

Selain empat hal di atas, Avanti juga menuturkan bahwa ia akan melakukan hal sebanyak mungkin bila mereka memiliki waktu luang. Ini adalah cara yang menurut mereka menyenangkan, cara untuk membuat mereka merasakan bahagia menurut pengertian masing-masing. Tidak seperti kebanyakan orang, Avanti dan Yukio tergolong ke dalam pasangan yang jarang bicara satu sama lain dalam kesehariannya. Di mata orang lain, ungkap Avanti, mungkin mereka terlihat seperti sepasang manusia dingin. Tapi, dengan demikian—baik Avanti maupun Yukio—mereka memiliki bahan obrolan yang banyak saat sedang berdua saja. Mereka akan berbagi cerita sebanyak-banyaknya dan bicara dengan santai. Pikiran yang tadinya masing-masing menjadi terbuka, meluaskan ruang diskusi di antara mereka, sehingga peluang untuk saling mengerti lebih banyak terjadi.

Bagi Avanti, menikah dengan orang yang berbeda kebangsaan adalah hal yang menyenangkan sekaligus penuh tantangan. Seperti halnya pasangan pada umumnya, tidak mungkin melulu memiliki selera yang sama. Ada saat dimana perbedaan diantara keduanya muncul ke permukaan dan memunculkan ketegangan. Perbedaan latar belakang budaya dan kebiasaan yang berbeda dinilai Avanti sebagai penyebab utama dari fenomena tersebut dan ia cukup mewajarinya.

Yukio, sebagai seorang pria Jepang tulen, memiliki cara berpikir dan cara kerja yang serba cepat, serba tinggi dan serba tepat (dalam hal ini terencana dan rinci), sehingga Avanti sebagai orang Indonesia, cukup sulit untuk mengimbangi hal tersebut. Ia belum terbiasa saat itu, sehingga terjadi beberapa ketidakcocokan yang menurut pengakuan wanita itu, menyebabkan stres dan frustrasi di antara mereka berdua.

Ilustrasi rekonsiliasi. Sumber: unsplash.com

Walau demikian, baik Avanti maupun Yukio selalu berusaha membuka diri terhadap kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh masing-masing individu. Mereka paham, bahwa selalu ada hal yang membedakan mereka satu sama lain—dan itulah yang membuat mereka bertahan sampai sekarang. Bila konflik terlanjur pecah, maka akan dicari upaya penyelesaiannya sesegera mungkin, biasanya kurang dari dua hari. Cara Avanti berdamai adalah dengan menenangkan diri untuk beberapa saat, kemudian ia akan mengumpulkan niat untuk bicara dan meminta maaf kepada sang suami.

“Konflik yang dibiarkan berlarut-larut sangat menyakitkan baik fisik maupun mental. Dan kami tidak ingin mengalaminya,” imbuhnya.

Selain berumah tangga, Avanti juga mengalami yang namanya kehidupan bertetangga walau ia berada di negeri orang. Lingkungan tempat ia tinggal adalah lingkungan perumahan. Namun, menurut penuturan Avanti, ia tidak begitu akrab dengan para tetangga. Dalam perspektif Avanti, hal tersebut terjadi karena jarak rumah mereka yang tidak berdekatan satu sama lain—berbeda dengan apartemen yang saling menempel antar temboknya—sehingga cukup membatasi interaksi antara dirinya dan tetangga yang lain. Jika mereka bertemu dan bertatap muka di jalan, sapaan ringan seperti おはようございます (ohayou gozaimasu, selamat pagi) atau こんにちは (konnichiwa, selamat siang) biasanya muncul. Namun, tidak ada yang lebih jauh dari pada itu.

Yang Dilakukan Saat Ini

Sejak Agustus tahun 2013 hingga sekarang, Avanti telah menjadi pengajar bahasa Indonesia di salah satu sekolah bahasa asing di Tokyo. Berdasarkan penuturan Avanti, tugas yang diamanatkan padanya cukup banyak. Tidak hanya mengajar para murid, ia juga harus menerjemahkan dokumen, menyusun bahan/materi pelajaran juga membuat naskah soal ujian.

Ilustrasi pegawai kantoran Jepang. Sumber: bussiness time

Yang unik dari pekerjaan Avanti sebagai pengajar bahasa Indonesia adalah, para murid yang berguru kepadanya bukanlah anak-anak ataupun remaja pada umumnya. Klien yang biasa membutuhkan jasa Avanti adalah para pegawai kantor atau pelaku bisnis Jepang yang akan ditugaskan ke Indonesia sebagai tenaga asing atau ekspatriat. Klien bisa datang dari berbagai ranah usaha, seperti perusahaan otomotif, makanan, perbankan, asuransi, hingga pegawai pemerintahan seperti kepolisian dan pegawai imigrasi.

Uniknya lagi, sistem pengajaran yang dianut sekolahnya adalah datang ke kantor masing-masing klien—yang mana membuat Avanti harus bolak-balik menumpang KRL atau naik bus setiap hari, setiap minggu. Ia benar-benar sibuk!

Jepang di Mata Avanti

Sebelum menjadi pengajar bahasa Indonesia, tentunya Avanti harus terlebih dahulu menguasai bahasa setempat, alias bahasa Jepang. Bahasa Jepang adalah satu dari sekian banyak bahasa di dunia yang cukup sulit dipelajari karena memiliki beberapa huruf yang mungkin untuk sebagian orang, sukar untuk dihafalkan. Selain itu, tata bahasa dalam bahasa Jepang cukup rumit dan memiliki aturan yang beragam, sehingga untuk mempelajari sampai tuntas membutuhkan waktu yang tidak sedikit.

Contoh huruf katakana. Sumber: A Fox in Japan

Bagi Avanti sendiri, huruf katakana atau huruf yang digunakan untuk melafalkan bahasa asing (misalnya bahasa Inggris) adalah huruf yang paling menjengkelkan sampai-sampai ia berpendapat untuk meniadakan saja huruf tersebut, sebab banyak dari tulisan katakana yang ucapannya tidak sesuai dengan aslinya. Selain itu, ia masih harus mempelajari bahasa formal yang biasa dipakai untuk bisnis dan bahasa gaul yang biasa dipakai anak muda.

Sulit? Tentu saja. Namun Avanti tidak memiliki pilihan. Ia melakukan semua itu untuk bertahan hidup, sebab negeri tempat ia tinggal sekarang kurang berkenan dengan bahasa selain Jepang.

“Kita bakal mendapat banyak kesulitan dalam kehidupan jika tidak bisa menguasai bahasa Jepang yang setara dengan mereka,” begitu yang dikutip dari Avanti.

Dalam dunia pekerjaan, bisa bicara, baca dan tulis Jepang adalah sebuah keharusan bagi para pegawai—baik yang WNA sekalipun. Jika tiga hal tersebut telah dikuasasi, kepercayaan diri akan kemampuan yang dimiliki akan meningkat. Hal ini juga mendorong membesarnya peluang diterimanya seorang warga asing di lingkungan kerjanya dan masyarakat secara umum.

Selain itu, para pekerja di Jepang sangatlah serius, disiplin, tepat waktu, selalu menepati janji, tekun, rajin dan rinci. Sifat-sifat semacam ini sebenarnya sudah lama menempel pada budaya dan masyarakat Jepang. Namun, menurut Avanti, menyaksikan semua sifat itu dengan mata kepala sendiri benar-benar sulit dihadapi—tentu kalau dibandingkan dengan Indonesia, tidak ada apa-apanya.

Avanti begitu sulit berkompromi dengan gaya kerja orang Jepang yang benar-benar rodi itu. Tapi, lama-kelamaan Avanti belajar dan memahami, kemudian membangun taktik miliknya sendiri dengan mempersiapkan fisik dan mental untuk segala kemungkinan terburuk dan menyelesaikan pekerjaan terpat waktu—alias tidak menunda-nunda pekerjaan.

Pekerja kantoran Jepang yang jasnya hampir sewarna. Sumber: Telegraph UK

Selain soal pekerjaan, ternyata masih ada sisi lain dari budaya Jepang yang menurut Avanti harus diperhatikan. Jepang adalah negara dengan masyarakat yang homogen. Walau tidak ada aturan tertulis mengenai suatu hal, menjadi sosok yang mencolok atau berbeda dari kebanyakan orang adalah sesuatu yang dinilai kurang pantas. Contohnya seperti memakai pakaian dengan warna atau model mencolok, berbicara dengan suara keras, atau tidak membungkuk saat yang lain memberi hormat. Menurut Avanti, dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Ia pun berusaha membaur dengan masyarakat Jepang yang lain dan menerapkan prinsip yang sederhana, kaku lagi baku.

Perihal Kewarganegaraan dan Kepercayaan

Terkadang, kerap muncul pertanyaan di benak masing-masing kepada orang seperti Avanti. Apakah status kewarganegaraan yang dimiliki saat ini bisa hilang kala dirimu menikah dengan seorang WNA? Dalam kasus Avanti dan Yukio, jawabannya adalah tidak. Baik Avanti maupun Yukio, mereka berdua tetap berstatus sebagai warna negara menurut asal mereka masing-masing. Tambahan yang mungkin dimiliki oleh Avanti adalah ia memiliki izin tinggal permanen yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang (kalau kata Avanti, layaknya green card di Amerika Serikat).

Oleh karena itu, Avanti tetap memiliki paspor Indonesia dan bisa mengikuti pemilu beberapa waktu yang lalu. Dengan mendapatkan izin tinggal permanen, Avanti bisa mendapatkan hak yang sama seperti warga Jepang yang lain. Walau terlihat menyenangkan, nyatanya ada beberapa syarat yang harus dipenuhi sebelum seorang WNA bisa mendapatkan izin tinggal secara permanen, diantaranya adalah orang asing ini statusnya harus tinggal atau menetap dan tidak boleh meninggalkan Jepang dalam waktu satu tahun.

Beberapa usaha kemudian dilakukan oleh Avanti. Untuk mengobati kerinduannya dengan Indonesia tanpa perlu tersenggol aturan, ia secara rutin bertolak dari Tokyo menuju Jakarta dan Bandung untuk berlibur saat Jepang sedang mengalami musim dingin. Tidak lama, paling banyak hanya sepuluh hari. Mayoritas waktu yang Avanti pakai di Indonesia akan dialokasikan kepada keluarga yang lain.

Perbandingan jumlah agama di Jepang (2012). Sumber: Britannica

Apabila bicara mengenai kepercayaan, Jepang sebenarnya tidak terlalu peduli dengan keberadaan hari-hari besar agama—karena mereka (warga Jepang) tidak memiliki perayaan khusus mengenai hal ini. Dari diagram pie di samping, kita bisa melihat betapa tidak populernya kepercayaan yang dianut oleh Avanti. Kemudian, bagaimana Avanti menjalankan ritual-ritual keagamaan yang lain?

Wanita itu menjawab, “Di bulan Ramadhan saya melakukan ibadah puasa. Saya paling suka melakukan puasa untuk introspeksi diri dan menenangkan jiwa,”.


Bagi Avanti, tidak ada masalah yang muncul apabila segala sesuatu dihadapi dengan pikiran yang terbuka. Dimanapun dirimu berada, tetaplah mencurahkan pendapat dengan kepala dingin kepada orang lain. Jangan lupa untuk ingat dimana dirimu berdiri, perhatikan sekitarmu. Kemudian, bangun rasa saling pengertian pada pasangan untuk mempertahankan hubungan yang memiliki perbedaan latar budaya kuat,

seperti apa yang Avanti dan sang suami, Yukio, lakukan. Sekian, sampai jumpa di cerita berikutnya.


Tulisan oleh: Anita Dewi Prameswari

Referensi:

Sumber gambar: