Kala Etika Disebut Halangi Kreativitas

sumber: pinterest.com

Istilah etika bukanlah suatu hal yang asing lagi di telinga kita sebab kata ini merupakan kata yang cukup lumrah digunakan di masyarakat. Etika adalah seperangkat aturan yang dibangun untuk melindungi apa yang disebut sebagai moralitas. Kerap disebut sebagai panduan paling universal, nyatanya etika berlaku sangat kontekstual, dimana tidak semua negara–atau bahkan tempat sekalipun–menghalalkan cara yang sama untuk memperlakukan tamu, misalnya.

Apakah kreativitas dapat terbelenggu dengan hadirnya etika? Menurut saya, tidak, Kreativitas dimulai dari apa yang terjadi dalam kepala, yaitu proses berpikir dengan mencerna masalah kemudian mencari solusi-solusi untuk memecahkannya. Tidak mesti demikian, berpikir kreatif boleh jadi disandingkan dengan berimajinasi, berkelana dan mengawang sejauh mungkin sehingga berpikir kreatif adalah sesuatu yang (sebenarnya) tidak boleh dan tidak bisa dibatasi, sebab itu adalah sesuatu yang paling pribadi dan merupakan hak asasi yang melekat dalam diri manusia. Saya rasa, selama buah dari pikiran itu tetap berada dalam kepala, tidak perlu ada etika untuk membatasi apa yang dipikirkan seseorang.

Namun, ceritanya lain kalau pikiran tersebut sudah dituang dalam berbagai bentuk produk kreatif, seperti gagasan ataupun karya. Saat buah pikiran sudah dikeluarkan dari kepala, maka ia berhak untuk ‘dihakimi’ oleh etika karena ada banyak potensi untuk sebuah produk kreatif dilihat, dinikmati bahkan digunakan oleh orang lain. Etika menyinggung banyak hal tentang apa yang baik dan buruk menurut moralitas yang berlaku di masyarakat setempat, sebab tentunya, hidup sendirian adalah mustahil di dunia ini, bukan? Etika hadir sebagai ‘pengatur cara hidup’ kita dengan orang lain, agar kehidupan tetap berjalan sesuai dengan moralitas yang diyakini oleh masyarakat. Bila buah kreativitas sudah keluar, sebaikya disesuaikan dengan etika yang berlaku di tempat yang dipijak.

Tapi eh tapi, etika tidak selamanya membatasi kreativitas, kok. Sisi baik dari hadirnya etika yang melingkupi kita, para penghuni bumi ini, adalah memberi kita tantangan dan tuntutan untuk berpikir lebih jauh lagi supaya mencari celah-celah yang tidak diatur dalam etika atau yang tidak pernah disinggung dalam ‘kitab moralitas’ tempat kita tinggal. Tidak ada yang salah dengan itu dan sah-sah saja untuk melakukannya sebagai bentuk dari kemerdekaan berpikir dan berpendapat–bilang saja perwujudan dari undang-undang. Proses berpikir untuk berkelit dari etika yang membelit adalah bentuk pikiran kreatif juga lho. Kalau dilihat-lihat (dari segi optimis) bukankah ini justru membuat kita dipandang lebih ‘cerdik’?

‘Menghakimi’ produk kreatif menggunakan etika juga tidak bisa dilakukan sembarangan. Sebab, sesuai dengan apa yang telah disebutkan, etika mengatur hal-hal umum untuk sesuatu yang khusus. Beragam produk kreatif tidak bisa dinilai dengan satu ‘kitab moralitas’ yang sama. Tentu saja kita tidak bisa membandingkan karya rupa dan karya musik dengan aturan yang sama. Walau ada beberapa aturan yang mungkin mirip, tetap saja, keduanya memiliki spesifikasi yang lebih mendalam mengenai produk masing-masing, sebab mereka memiliki keunikan masing-masing. Begitu pula dengan tempat dimana produk kreatif itu digaungkan. Mungkin ada aturan etika internasional yang menjadi kiblat utama negara-negara untuk mengikutinya. Namun, tidak jarang ditemukan bahwa banyak juga negara yang menambahkan/mengurangi etika yang ada dengan tujuan menyesuaikan dengan kondisi sosial dan budaya negaranya masing-masing.

Sumber gambar: